Kamis, 06 Oktober 2011

petualangan Ibnu Battuta


                                                                    BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Transformasi peradaban menyentuh bangsa Arab. Para sejarawan mencatat terjadinya perubahan besar yang berupa pencapaian luar biasa di bidang sains dan teknologi. Pada awalnya, tak banyak yang bersentuhan dengan ilmu pengetahuan. Kedatangan Islam mengantarkan mereka pada beragam literatur.
Kota-kota pusat ilmu, bermunculan di seantero dunia Islam, mulai dari Damaskus, Basra, Kordoba hingga Kairo. Kegiatan intelektual mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang ditandai dengan gencarnya gerakan penerjemahan literatur ilmiah asing.
Istilah ilmu atau ilmu yang terdapat dalam kitab suci dan hadis, mendorong geliat tradisi keilmuan. Mereka menyerap ilmu pengetahuan dari beragam sumber. Pedagang dan penjelajah Muslim berperan besar dalam memajukan gairah perubahan di kalangan masyarakat Arab Muslim pada masa awal. Mereka berasal dari Makkah, Madinah, dan Yaman. Setelah mengadakan perjalanan melintasi gurun pasir, mereka mencapai Mesir, Mesopotamia, dan Suriah yang dikenal sebagai pusat peradaban kuno.
Beberapa nama tetap begitu kesohor sampai saat ini bahkan hampir semua orang pernah mendengarnya, yaitu  Cheng Hoo dan Ibnu Batutta. Ibnu Battuta merupakan tokoh Muslim asal Maroko yang lahir pada tahun 1304 M. Ia suka melakukan penjelajahan keberbagai penjuru dunia. Ia dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 14.
1.2.  Rumusan Masalah
1.      Siapakah Ibnu Battuta?
2.      Bagaimana karakteristik kota-kota islam?
3.      Bagaimana laporan-laporan Ibnu Battuta tentang kota-kota Islam?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mengenal Ibnu Battuta
     Ibnu Battuta merupakan tokoh Muslim asal Maroko, yang dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 14, yang lahir pada tahun 1304 M. di Tangier, Maroko[1]. Dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Battutah ( أبوعبدﷲ محمد إبن بطوطة, Abu Abdullah Muhammad ibn Bathuthah) atau juga dieja Ibnu Batutah (24 Februari 1304 - 1368 atau 1377) adalah seorang pengembara Berber Maroko. Ia lahir dari keluarga keturunan suku Berber yag terkenal dengan nama suku Lawata.[2]
Atas dorongan Sultan Maroko, Ibnu Battutah mendiktekan beberapa perjalanan pentingnya kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika sedang berada di Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah fiksi, Rihlah merupakan catatan perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad ke-14.
Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri. Meskipun dia mengklaim bahwa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut.
Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh tahun Ibnu Batutah berangkat haji -- ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia Muslim (sekitar 44 negara modern).
Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman. Jalur yang umu digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh: pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di 'Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal.
Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan keterangan/anjuran seseorang yang ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut  Hebron, Yerusalem, dan Betlehem, misalnya -- dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk mengamankan para peziarah.
Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran.
Dengan cara bergabung dengan suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).
Di sana ia bertemu Abu Sa'id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang merupakan pusat perdagangan penting.
Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan sekitar seminggu di setiap daerah tujuannya, Ibnu Battutah berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah lagi.
Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia. Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam.
Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.[3]

B.     Laporan Perjalanan Ibnu Batuttah
Kisah seluruh perjalanan Ibnu Batutah ditulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Morroco, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah Al-Nuzzar fi Ghara’ib Al Amsar wa Ajaib Al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan). Karya ini telah menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Perancis, Inggris dan Jerman. Beberapa kota yang pernah disinggahi oleh Ibnu Battutah diantaranya yaitu:

India
Delhi tumbuh dengan cepat dalam abad 13, bukan karena kota itu merupakan sebuah pusat industri yang penting, atau sebuah interaksi kunci perdagangan, akan tetapi karena kota itu merupakan tetmpat kediamam maharaja. Delhi mempunyai corak yang khas bagi ibukota parasitis di abad pertengahan. Lembaga kerajaannya dengan baik memakan hasil kerja tatanan lebih rendah dari hasil keuntungan ratusan ribu petani Hindu.
Di zaman pemerintahan Khan Agung Ogedei, orang Tartar menyerang lagi, dan menyerang Lahore pada tahun 1241. Di akhir abad itu, para Khan Chagatay yang terkurung oleh tiga kerajaan Mongol lainnya melihat kea rah India sebagai jalan keluar yang m,enjanjikan bagi daya tempur mereka. Pertahanan India Utara terhadap orang Tartar berhasil sepenuhnya selama lebih dari satu abad. Para Sultan menerima reputasi yang patut disegani di kalangan dunia yang lebih luas sebagai juara-juara peradaban Muslim. Suatu kedudukan yang sama dengan yang sezaman dengann mereka, yakni orang-orang Mamluk di Mesir. Jadi, Delhi bersamaan dengan orang Kaioro dan kota-kota yang dikuasai oleh Turki dan Anatolia. Yang mana telah menjadi sebuah termpat pengungsian bagi orang-orang berketerampilan dan terpelajar, yang telah melarikan diri dari Transoxiana atau Persia sebelum orang-orang Mongol membunuh mereka, atau menjadikan mereka sebagai budak.[4]
Seiring dengan tumbuhnya populasi Muslim, maka tumbuh pula akan ahli-ahli hokum yang berwenang, diperlukan pembangunan gedung-gedung sekolah tinggi yang memberikan studi ilmu fiqih madzhab Hanafi dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Dari pusat dunia Islam juga telah datang para ahli sastra, sejarah, pennyair, dan pemain musik untuk menghibur istana kerajaan, mencatat peristiwa-peristiwa bersejarah tentang kemajuan-kemajuan yang dicapai, dan menyanjung kebaikan-kebaikan sang raja. Selakipun bahasa-bahasa Hindi, Turki, Gujarat, dan banyak lagi bahasa-bahasa India lainnya dapat didengar di jalnan dan bazaar-bazaar kota Delhi, akan tetapi bahasa Parsi juga digunakan di lingkungan yang beradab. Hingga memperluas ruang  lingkupnya sebagai bahasa sastra bergengsi di sepanjang lajan dari Anatolia, sampai ke Benggala. Dengan berbicara dan menulus dalam bahasa Parsi, elite Muslim di India telah memperkookoh dampak hubungan-hubungan cultural dan historos mereka sampai ke negeri-negeri di bagian tengah.
Para pengrajin yang bermigrasi dari barat mengimpor tradisi arsitektur dan dekoratif Arab-Persia. Seperti kota-kota Muslim lainnya yang tumbuh dalam periode tersebut, Delhi telah keluar dari pemunculan gedung-gedung umum yang besar, masjid-masjid, istana-istana, khanqa para sufi, madrasah dan monument-monumen kubur yang memasukkan dalam batang tubuh bangunan unsure kuba-unsur kubah, busur tiang serambi, dan prasasti-prasasti kaligrafis yang khas bagi arsitektur periode pertengahan di Persia. Akan tetapi karena masyarakat imigran kecil, maka para seniman dan pekerja-pekerja Hindu harus disewa dalam jumlah besar untuk melaksanakan sebagian besar dari pekerjaan-pekerjaan tersebut. Jadi, segala macam unsure strukltural dan dekoratif pribumi tertuang dalam bangunan-bnagunan tersebut, bneberapa diantaranya telah dibangun blok-blok andesit dari candi-candi Hindu yang telah dihancurkan.[5]

Fez
Di bawah perlindungan para Sultan dinasti Marinid, kota Fez telah menjadi sainga bagi kota Tunis sebagai pusat pertama Afrika Utara di bidang yurisprudensi madzhab Maliki dan sastra Arab. Ketika banu Marid berkuasa, Fez sudah merupakan pusat militer Almohad yang penting, dan sebuah sambungan komersial yang menghubungkan jalan trans Maghrib dan alur-alur jalan karavan yang membawa emas dan gading Afrika ke Barat ke pelabuhan-pelabuhan Laut Tengah. Fez memiliki persediaan air yang melimpah dan sebuah daerah pertanian yang kaya, yang menjiwai mapan industry-industri kerajinan.
Secarfa fisik, kota Fez menempati sebuah wilayah yang mencolok mata. Populasi para pedagang, seniman, pejabat sipil, sarjana, pekerja, dan pemukim musiman yang terus tumbuh, tinggal berhimpitan di dalam dinding-dinding berbebtuk lingkaran yang mengurung lembah itu. Pada tahun  1476, Abu Yusuf Yaqub (sultan Marinid ke-2) membangun sebuah kota baru yang bernama Fez Jadid atau Fez Baru. Yang mana bertugas sebagai pusat militer dan administrasi dari dinasti Marinid. Fez Jadid dibangun di atyas sebuah dataran tinggi kota tua, dan dikurung oleh dinding-dinding berganda yang tinggi. Sehingga Fez Jadid menyerupai benteng Mamluk di Kairo, yang menjulamg tinggi sebagai sebuah lambang yang amat jelas kelihatan dan menerbitkan rasa takut dari kekuasaan dan keteguhan dinasti Marinid. Kota itu merupakan kediaman eksklusif Sultan, para pejabat tingginya para akunyan, dan juru tulisnya, dan kesatuan-kesatuan pilihan tentara kerajaan. Akan tetapi, Fez Jadid masih tetap tergantung dari kota labirin yang penuh sesak di bawah lembah, bukan saja karena makanan dan barang-barang mewahnya, tetapi juga karena banyak dari kalangan orang terpelajar yang mengelola jawatan-jawatan Negara. Sebagai jagoan-jagoan dari aliran Maliki yang ortodoks, para penguasa dinasti Marinid awal mensponsori berdirinya beberapa madrasah menurut pola organisasional dan kurikuler perguruan tinggi yang besar di Timur Tengah.[6]

DAMASKUS
Damaskus terletak pada posisi 30°37´ bujur timur dan 30°33´ lintang utara. Ibu kota Republik Syuriah. Sejak dahulu Damaskus terkenal dengan banyak sungai dan saluran air. Pada mulanya Damaskus adalah kota pertanian kecil yang terletak di perairan sungai Bardi. Karena letaknya yang sangat strategis untuk pusat perdagangan, maka di sana banyak terdapat pasar.
Pada milinium ke tiga sebelum Masehi, Damaskus yang merupakan salah satu kota berpenghuni tertua di dunia sudah menjadi ibu kota kerajaan Aramid yang maju. Letaknya yang berada di persimpangan jalan menuju ke Irak dan anak benua Arab, membuat Damaskus untuk menjadi pusat perdagangan yang penting.
Gerakan penaklukan Islam mulai memasuki Damaskus di tangan Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Sejak berdirinya dinasti Bani Umaiyah, Damaskus dijadikan ibu kota kekhalifahan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan yang bertahan hingga dinasti ini jatuh. Selanjutnya, Damaskus menjadi salah satu wilayah kekuasaan Bani Abbas. Pernah menjadi ibu kota pada masa khalifah Mutawakkil, tetapi hanya sebentar.
Damaskus mencapai puncak kejayaannya pada masa Salahuddin Al-Ayubi. Setelah itu kembali seperti semula, menjadi sebuah wilayah kekuasaan dinasti Mamluk berikut dinasti Ustmani. Para penguasa Ustmani sangat memperhatikan Damaskus karena posisinya yang penting dalam segi keagamaan dan perdagangan
Sejak Islam masih dini, Damaskus terkenal sebagai kota pelajar. Karena banyaknya sekolah yang ada di sana. Pada masa Salahuddin Al-Ayubi jumlah sekolah mencapai 20 buah, di antaranya; Sekolah Adiliah, Sekolah Dhahiriah, Sekolah Jamqumiah, Sekolah Rawahiah, Sekolah Shalahiah, Sekolah Asadiah, Sekolah `Ashruniah, Sekolah `Aziziah dan lain-lain. Juga terkenal dengan sejumlah perpustakaan. Yang paling terkenal adalah Perpustakaan Sekolah Adiliah. Pada zaman dahulu, Damaskus juga terkenal dengan banyaknya rumah sakit milik lembaga pendidikan kedokteran tertentu dan banyaknya sekolah-sekolah kedokteran.
Sepanjang sejarah kekhalifahan Islam yang silih berganti, Damaskus telah banyak menelorkan ulama besar, seperti; Hafiz Abu Zar`ah —tokoh hadis terkemuka—, Syaikhul Islam Ibn Taymiah -ulama terkemuka umat-, Ibn `Asakir, Abu Syamah, Ibn Katsir, Ibn Malik, Ibn Syathir, Ibnu Baythar, Ibnu Nafis. Mesjidnya yang paling terkenal adalah masjid Omayyad dan peninggalan sejarahnya yang paling tersohor adalah benteng Damaskus.[7]
Masjid Omayyad Di Kota Damaskus mutlak menjadi perwujudan yang paling penting yang mewakili Damaskus. Mesjid ini dibangun di atas tanah suci yang diduduki oleh kuil-kuil agama yang berbeda, itulah sebabnya sejarah masjid itu sendiri merupakan sejarah Damaskus secara keseluruhan. Selain itu, Masjid Omayyad mengambil posisi khusus, sejarah masjid itu sendiri merupakan sejarah arsitektur, khususnya teknik arsitektur Islam, karena perbedaan khusus, kebesaran dan ornamen mewah, lukisan dan mosaik yang menghiasi dinding masjid membentuk beberapa karya besar. Masjid Kuno Omayyad dianggap merupakan arsitektur prestasi yang paling penting selama tahap awal dari negara Islam.
Candi Hadad Aram adalah kuil pertama di mana masjid Omayyad terletak sekarang. Tiga ribu tahun yang lalu orang menyembah Hadad, dewa terang dan badai dewa Syria. Kuil itu mungkin berubah menjadi hak Roma setelah Roma menguasai Damaskus. Namun kuil Romawi itu memiliki nama baru: Jupiter, candi Damaskus. Bagaimanapun, menurut sejarawan, kuil Hadad diubah telah menjadi gereja pada akhir kekuasaan Romawi disana. Pemimpin Muslim Ben Khaled Al Waleed mengubah beberapa bagian gereja dan membuatnya menjadi masjid ketika dia menaklukkan Damaskus. Muslim dan Kristen menggunakan bangunan ini bersama-sama dan memasuki masjid itu dari pintu yang sama: Muslim harus berdoa di sisi timur, sedangkan orang-orang Kristen harus berdoa di sisi barat.
Dalam Era Omayyad (Umayyah), bangunan ini dipelihara oleh kaum Muslim dan berubah menjadi Masjid Islam. Sebuah kompensasi yang dibayarkan kepada orang Kristen. Khalifah Omayyad, Abdul Malek bin Marwan membangun kembali mesjid ini. Ia menyimpan semua peninggalan kuil Romawi dan gereja tidak rusak. Masjid telah menghadapi banyak bencana alam, seperti kebakaran dan gempa bumi. Api besar pada tahun 1893 rusak hampir semua bangunan. Namun, orang Damaskus melakukan upaya-upaya luar biasa untuk membangun masjid lagi.[8]
Masjid Umayyah berdiri di tanah yang dianggap suci selama setidaknya 3.000 tahun. Sekitar 1.000 tahun sebelum Masehi, kaum Aram membangun kuil—di lokasi di mana masjid berdiri—sebagai tempat pemujaan terhadap Hadad, dewa badai dan petir. Sebuah basal orthostat (batu) yang berasal dari periode ini, bergambar sphinx, ditemukan di sudut timur laut masjid.
Semasa Dinasti Umayyah (661-750 M), Damaskus menjadi ibu kota dunia Islam. Para khalifah Umayyah yang memerintah dari Damaskus menguasai seluruh kawasan, mulai dari Spanyol hingga ke India. Sejarah mencatat, peradaban Islam telah meninggalkan banyak bangunan indah di Damaskus, ibukota negara Suriah.
Masjid Umayyah (Umawi) dibangun pada masa Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (88-97 H/705-715 M) dari Dinasti Umayyah. Arsitekturnya telah memberi pengaruh bagi seni bangun masjid di seluruh dunia. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan, menara segi empat, dan maksurah.[9]
Ibnu Battuta pada sekitar abad ke-14 pernah mengunjungi tempat ini, menurut Ibnu Battuta Kota Damaskus adalah merupakan sebuah kota yang besar seperti halnya Kairo, dalam hal produksi barang-barang mewah. Selama tinggal disana Battuta tinggal disuatu madrasah madzhab Maliki. Disana juga ada masjid raya dan kubahnya berlapiskan emas. Ibnu Battuta tinggal disana selam kurang lebih 24 hari. Dan di Damaskus ini memiliki ahli di bidang teologi dan ahli hukum.[10]

TUNISIA
Sejarah Tunisia dapat ditelusuri dari berdirinya Kerajaan Carthage (Kartago) sekitar tahun 814 SM. Pada abad ke-2 SM, Kerajaan Kartago mengalami kehancuran hingga mengakibatkan saling bergantinya kekuasaan asing di Tunisia.
Tunisia yang saat itu lebih dikenal dengan nama Afrika kemudian menjadi pusat Kerajaan Romawi di Selatan Mediterania. Kedaulatan­nya meliputi sebagian wilayah kekuasaan Kerajaan Carthage. Antara 439-533 M, Tunisia dikuasai oleh pasukan Vandal, sebelum ditak­lukkan kembali oleh Kerajaan Roman Byzantium (533-647 M).
Posisi kekuasaan Kerajaan Carthage (Numidia) dan Kerajaan Roma (Italy) sebelum Perang Punic II (218 SM). Setelah perang itu, Sardenia dan Sicilia dapat dikuasai kembali oleh Carthage. Sicilia berhasil direbut kembali oleh Roma setelah kemenangan mereka di perang Punic III (146 SM), yang mengawali kedaulatan Roma atas wilayah "Africa"
Pertengahan abad ke-7 Uqba bin Nafi r.a., seorang sahabat Rasulullah SAW, masuk Tunisia bersama pasukannya. Tahun 647 M pasukan Uqbah r.a. berhasil menaklukkan Sbeitla (Sufetula) yang menandai bermulanya era Arab-Islam di Tunisia. 13 tahun kemudian, yaitu pada tahun 670 M Uqbah r.a. berhasil menaklukkan kota Kairouan –sekitar 156 km selatan kota Tunis– dan kemudian menja­di­kannya sebagai ibu­kota pemerintahan dan pusat penye­baran Islam di wilayah Afrika Utara. Seiring perubahan politik masa itu, Kairouan juga menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Dinasti Uma­wiyah. Pada 698 M, pasukan Islam di bawah pimpinan Hassan bin an-Nu’man dan Musa bin Nashr berhasil me­naklukkan Carthage, hingga ke­mudian Islam cepat berkembang di Tunisia. Bahkan pada tahun 711 M –masa keemasan Dinasti Umawiyah– agama Islam telah tersebar ke daratan Eropa dengan berhasil menaklukkan Andalusia (Spanyol dan kawasan Iberia di sekitarnya).
Pada tahun 748 M, Dinasti Umawiyah digantikan oleh Dinasti Abbasiah. Peris­tiwa ini menyebabkan Tunisia terlepas dari peng­awasan pusat kekhalifahan, namun kemu­dian dapat dikuasai lagi oleh Dinasti Abbasiah pada tahun 767 M. Pada tahun 800 M, Ibrahim Ibn Aghlab di­tunjuk sebagai Guber-nur Afrika Utara yang berke­dudukan di Kairouan. Pada masa ini, Mesjid Agung Ezzitouna didirikan di kotaTunis.

Masa-masa selanjutnya adalah era kejayaan peradaban Islam di Tunisia dan kawasan Arab Magh­ribi. Dinasti Aghlabiah (767-910), Fatimiah (910-973), Ziridiah (973-1062), Almohad (1159-1228) dan Hafsiah (1230-1574) silih berganti memegang tampuk ke­kuasaan di Tunisia, hingga ma­suknya Tunisia dalam wilayah Khilafah Utsmaniah (1574-1591). Di masa Khilafah Utsmaniah ini, Tunisia menjadi wilayah otonom di bawah pemerintahan Dinasti Dey (1591-1659), Mouradi (1659-1705) dan Huseini (1705 –1957). [11]
Pertengahan abad ke-7 Uqba bin Nafi r.a., seorang sahabat Rasulullah SAW, masuk Tunisia bersama pasukannya. Tahun 647 M pasukan Uqbah r.a. berhasil menaklukkan Sbeitla (Sufetula) yang menandai bermulanya era Arab-Islam di Tunisia. 13 tahun kemudian, yaitu pada tahun 670 M (50 H ) Uqbah r.a. berhasil menaklukkan kota Kairouan dan kemudian menjadikannya sebagai ibu­kota pemerintahan dan pusat penyebaran Islam di wilayah Afrika Utara.
Pada 698 M, pasukan Islam di bawah pimpinan Hassan bin an-Nu’man dan Musa bin Nashr berhasil menaklukkan Carthage. Islam kemudian berkembang pesat di Tunisia. Bahkan pada tahun 711 M –masa keemasan Dinasti Umawiyah– agama Islam telah tersebar ke daratan Eropa dengan berhasil menaklukkan Andalusia di Spanyol dan kawasan Iberia di sekitarnya.
Pada tahun 748 M, Dinasti Umawiyah digantikan oleh Dinasti Abbasiah. Peristiwa ini menyebabkan Tunisia terlepas dari pengawasan pusat kekhalifahan, namun kemu­dian dapat dikuasai lagi oleh Dinasti Abbasiah pada tahun 767 M. Pada tahun 800 M, Ibrahim Ibn Aghlab ditunjuk sebagai Gubernur Afrika Utara yang berkedudukan di Kairouan. Pada masa ini, Mesjid Agung Ezzitouna didirikan di kotaTunis.
Masa-masa selanjutnya adalah era kejayaan peradaban Islam di Tunisia dan kawasan Arab Maghribi. Dinasti Aghlabiah (767-910), Fatimiah (910-973), Ziridiah (973-1062), Almohad (1159-1228) dan Hafsiah (1230-1574) silih berganti memegang tampuk kekuasaan di Tunisia, hingga masuknya Tunisia dalam wilayah Khilafah Utsmaniah (1574-1591). Di masa Khilafah Utsmaniah ini, Tunisia menjadi wilayah otonom di bawah pemerintahan Dinasti Dey (1591-1659), Mouradi (1659-1705) dan Huseini (1705 –1957).
Karena itulah, Kairouan dan Mahdia kini menjadi kota tujuan wisata sejarah Islam terpenting di Tunisia, selain Masjid Ezzitouna di kota Tunis. Di Kairouan dan Mahdia, kita bisa mengunjungi masjid-masjid tua, benteng, makam para ulama serta istana sisa peninggalan peradaban Islam.[12]
Di Tunis terdapat masjid agung Qayrawwan. Masjid Qayrawan dibangun dalam beberapa tahapan: tahun 836, 862 dan tahun 875. Masjid ini dibangun di atas lahan berukuran 130 kali 80 meter (sekira seluas satu hektare). Bangunannya dikelilingi oleh dinding-dinding tinggi yang menyerupai benteng dengan delapan pintu gerbang.
Seperti halnya ciri-ciri masjid agung lain yang sudah ada saat itu, masjid kuno ini mempunyai pelataran berukuran panjang 65 meter kali lebar 50 meter yang dikelilingi oleh double portico (teras beratap yang mengelilingi halaman dalam masjid).Masjid ini seluruhnya didominasi warna coklat muda, memiliki empat buah menara persegi yang masing-masing memiliki tiga undakan. Undak-undakan itu memiliki pola seragam, yakni: ukuran undakan bagian atas lebih kecil daripada yang di bawahnya.
Description: model menara berundak-undak
Tipe menara ini tampaknya mengadopsi bentuk bangunan mercusuar kuno dan mengingatkan kita kepada mercusuar di Iskandarsyah, Mesir seperti yang digambarkan oleh koin-koin kuno. Rupanya, kecenderungan bentuk menara ini menyebar melintasi Maghribi dan Spanyol mulai dari Masjid Qutubiyya di Marrakesh (Maroko) hingga ke Menara Giralda yang terdapat pada Masjid Agung di Sevilla, Spanyol. Oleh karena itulah, menara Masjid Qayrawan yang mempunyai silouette sangat kuat ini dianggap mempengaruhi arsitektur menara-menara masjid yang ada di seluruh Afrika Utara dan Andalusia.
Rancangan masjid ini setipe dengan masjid-masjid yang ada di Afrika Tengah dan daerah masyriqi dengan rancangan arsitektural yang berkiblat pada pola arabesque berjalin dan hypostyle berteras. Rancangan ini sudah dipakai sejak zaman Muhammad saw dan telah menjadi rancangan yang disukai sebagai pakem konstruksi masjid di dunia muslim. Salah satu contoh “arabesque berjalin ruang” adalah Masjid Cordoba.
Ruangan besar utama Masjid Qayrawan berpola hypostyle itu terbentuk dari perpaduan 17 baris pilar yang tegak lurus terhadap arah qiblat. Ketujuh belas kendali ruang (nave) yang diciptakannya itu dibelah oleh sebuah kendali ruang yang lebih lebar (nave ke-9) yang sejajar dengan mihrab. Pola ini sama dengan pola yang diterapkan di Masjid Al-Azhar, Cairo.
Sementara pada bagian tengahnya terdapat kupola (langit-langit kubah) yang tampak dominan dan menjadi sebuah tanda penunjuk bagi para jama’ah shalat. Usut demi usut ternyata pola hypostyle pada masjid ini mengandung unsur material kuno—peninggalan Byzantium—yang digunakan kembali baik untuk material kolom maupun tiang-tiang utamanya. Dan, seperti halnya Masjid Amr di Cairo, struktur konstruksi arcade masjid ini pun saling mengikat satu sama lain sehingga mampu menopang atap kayu yang menjadi langit-langitnya.
Description: qayrawan-02
Dekorasi yang terdapat pada mihrab sungguh menawan sehingga menimbulkan dorongan untuk memperhatikan detail dekorasinya yang terbuat dari sekitar 130 keramik bermutu tinggi dengan warna metalik terang yang diimpor dari Baghdad. Keramik tanah liat itu merupakan keramik ciri khas Mesopotamia.
Sementara itu, ceruk mihrab pada masjid ini dilapisi oleh panel batu marmer yang dirancang agak berlubang-lubang. Pada dua sisi ceruk mihrab—yang menunjukkan arah kiblat—dipasangi juga dua buah pilar marmer kuno. Dengan komposisi tadi, menurut para pengamat arsitektur Barat maupun Timur Tengah, mihrab Masjid Qayrawan ini merupakan salah satu yang paling terkenal dalam dunia Islam.
Di hadapan ceruk mihrab terdapat mimbar yang dibuat dari kayu denganhiasan bermotif. Motif-motif itu merupakan hasil karya ukiran kayu yang sangat halus; mempunyai pola dan karakter yang kuat. Mimbar ini dibuat pada masa Sultan Ibrahim ibn al-Aghlabi berkuasa pada permulaan abad kesembilan. Jadi, sebelum masjid-nya dibangun oleh Ziyadatallah I, Ibrahim al-Aghlabi sudah mempersiapkan mimbar untuk masjid besar kebanggaan orang Tunis itu.

Description: qayrawan-04
Kemudian masih disekitar mihrab, kupola (cerukan langit-langit kubah berusuk yang muncul tepat di atas mihrab tampak ditopang oleh dinding bersegi delapan yang juga ditopang oleh dinding segi empat. Transformasi dari segi empat ke segi delapan hingga lingkaran kubah itu sengaja dibuat sedemikian rupa. Pola ini ternyata juga merupakan salah satu ciri khas masjid ini.
Kemudian, kupola lain—yang terdapat pada pertengahan pintu gerbang tenggara pada pelataran—menjadi sumbu pintu masuk utama (entrance) menuju ruang utama masjid. Satu hal yang perlu menjadi catatan penting: bahwa pembangunan masjid ini membawa pengaruh besar terhadap kedudukan Tunisia karena Qayrawan menjadi kota suci keempat bagi kalangan sunnah wa al-jama’ah.[13]
Dan Ibnu Battuta juga pernah mengunjungi tempat ini, menurutnya Tunisia merupakan tempat berkembangnya kesenian dan keilmuan. Pada waktu itu, yaitu antara abad ke 13-14 Tunisia berada dalam sebuah dinasti, yaitu  Almohad. Dibawah dinasti ini, Tunisia menjadi ibu kota propinsi Maghrib Timur, dan dibawah dibawah pemerintahan dinasti ini Tunisia mengalami masa kejayaan. Kemudian setelah dinasti Almohad runtuh, kemudian digantikan oleh dinasti Hafsid. Dibawah pemerintahan dinasti Hafsid iiini, di Tunis dibangun masjid-masji dan istana-istana yang indah, menggelar  taman-taman umum serta mendirikan sekolah-sekolah tinggi. Pada awal abad ke 14 Tunis merupakan pelabuhan yang paling sibuk yang terletak di jalur perbatasan ekonomi antara perdagangan kelautan Eropa dari laut tengah jaringan karavan muslim dari pedalaman Afrika.
Tunis juga merupakan pasar konsumen dan transit untuk barang-barang dari sub-Sahara di Afrika. Tunis pada waktu itu menjadi kota yang terkemuka karena, letaknya yang strategis, dan di Tunis juga menjalin ikatan-ikatan komersial yang erat di Mesir, melalui jalan perdagangan pantai dan daratan Muslim. Dan Ibnu Battuta tinggal disana selama dua bulan.[14] 
ISKANDARIAH
Pada tahun 1326 Ibnu Battuta mencapai kota Iskandariah atau Alexandria. Menurut Ibnu Battuta Iskandariah merupakan kota paling cemerlang. Di Iskandariah terdapat dua pelabuhan. Di sebelah timur disediakan untuk kapal-kapal Kristen dan di sebelah baarat untuk kapal-kapal Muslim. Kedua pelabuhan ini, dipisahkan oleh pulau Pharos dan marcusuar yang sangat besar. Iskandariah ini, menangani sejumlah besar produk Mesir, termasuk sutra, tenunan dan katun. Dan di Iskandariah ini, juga terdapat toko-toko tekstil. Dan pelabuhan paling penting yang ada di Iskandariah ini terletak di palin barat dari lengkungan kota-kota timur tengah yang membuka perdagangan antara samudra Hindia dan laut tengaah. Disana Ibnu Battuta menjalin persahabatan dengan para alim ulama di masjid-masjid serta madrasah-madrasah.[15]
KAIRO
            Kairo  adalah ibu kota Mesir. Hal ini terletak di bagian timur laut Mesir di tepi kanan Sungai Nil dan tepi delta Sungai Nil. Kota ini adalah batas budaya Afrika dan Asia Eropa. Karena posisi penting dalam sejarah Kairo disebut Ibu Dunia. Kairo kota paling padat penduduknya di benua Afrika.
            Kairo yang terletak di delta Sungai Nil telah didiami manusia Mesir Kuno sejak tahun 3500 SM. Mesir Kuno sempat mencapai kemakmuran di bawah penguasa Zoser, Khufu, Khafre, Menaure, Unas dan lainnya. Di masa itu, ibukota Mesir Kuno itu sudah menjadi salah satu kota yang berpengaruh di dunia.[16]
            Menurut Ibnu Battuta.,Kairo ini adalah merupakan ibu kota dari negara Mesir. Di Kairo  terdapat pasar-pasar yang berbaris sepanjang hilir sungai Nil. Mayoritas penduduknya adalah para tamu asing dan para pengungsi yang hidup berhimpitaan didalam kota bertembok. Kairo ini, juga disebut Al-Qahirah (sang juara). Kota ini didirikan oleh dinasti Fatimid pada abad ke-10 sebagai tempat kediaaman raja. Kemudian, berkembang menjadi pusat perdagangan dan kehidupan kaum intelektual. Fi sekitar jalan raya terdapat ribuan toko dan juga ada 32 pasar yang masing-masing berkonsentrasi pada kerajinan atau perdagangan khusus. Kemajuan kota Kairo adalah pada masa pemerintahan Mamluk dan pada waktu itu berdiri Citadel (benteng pertahanan kota). Selain itu, disana  juga berdiri istaana, masjid, perkantoran tempat hunian dan kandang-kandang kuda diatas batu karang dengan ketinggian 250 kaki.[17]
            Pada saat Ibnu Battuta sampai di Kairo, imperium Mamluk telah berkembang luas, yaitu tidak hanya mencangkup Mesir, Suriah dan Palestina. Akan tetapi, juga bagian tenggara dari Asia kecil. Dan pada saat itu, Kairo menjadi ibu kota dunia dalam seni dan sastra Arab.[18] selama tinggal disana yaitu kurang lebih satu bulan. Ibnu Battuta berjalan-berjalan dan disana ia melihat monumen-monumen Bahri Mamluk dan juga adamasji-masjid serta kuburan-kuburan besar dari dinasti- dinasti sebelumnya. Dan selam pemerintahan Al-Nasir membangun kurang lebih 30 masjid. Dan yang paling mengesankan bagi Ibnu Battuta adalah Maristan atau rumah sakit yang dibangun oleh Qala’un, penguasa sebelum al-Nasir.[19]














BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
            
           Tujuan awal perjalanan Ibnu  Batutta adalah menunaikan ibadah haji pada tahun 1325 M, tetapi tujuan awalnya itu telah membawanya menuju penjelajahan 30 tahun yang gemilang. Perjalanan awal Ibnu Battuta di mulai dari Tangier menuju Mekkah. Untuk Menghindari berbagai resiko buruk seperti diserang perampok, selama perjalanan Ibnu Battuta bergabung dengan kafilah yang akan menuju Mesir. Bersama Kafilah itu, Ibnu Battuta dengan menyusuri hutan, bukit dan pegunungan bergerak menuju Tlemcen, Bijaya lalu kemudian tiba di Tunisia dan tinggal di sana selama dua bulan.
            Ciri-ciri utama kota Islam merupakan bentuk penyesuaian dengan lingkungan alamiah dan iklimnya, pada umumnya kota Islam dikelilingi oleh benteng pertahanan sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan ekspansi militer maupun perlindungan bagi penduduknya dari badai gurun biasanya memiliki gerbang pengintaian dan perlindungan yang berlapis-lapis.
            Pada masa pemerintahan Umar, pada awalnya Amr ibn Ash berniat untuk menjadikan Alexandria sebagai ibukota  Mesir, akan tetapi Umar menolaknya. Hal ini dikarenakan Umar merasa khawatir terhadap pengaruh Helenisme dan kekristenan kota tersebut. Hal ini  dirasa wajar dan masuk akal, karena Alexandria atau iskandariyah merupakan pusat peradaban Yunani di Mesir, sehingga Amr dan pasukannya memutuskan untuk bergeser agak ke utara dari benteng Babilon, di atas situs yang kelak akan menjadi bagian cikal bakal kota Kairo Lama.


           








DAFTAR PUSTAKA
                                                                                              
Ross E. Dunn. Petualangan Ibnu Battuta: Seorang Musafir Muslim Abad Ke-14. Jakarta:  Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Dalam  http://tgar .wordpress.com/2011/04/24/ibnu-batutah-tokoh-muslim-pengembara-dunia

Buku Ensiklopedia Tokoh Islam, Penerbit "Hikmah" oleh Rizka Rahman dalam http://rizka-rahman.blogspot.com/2010/05/ibnu-batutah-penjelajah-pembuka mata.html


                                                                                              






[1] Dalam  http://tgar .wordpress.com/2011/04/24/ibnu-batutah-tokoh-muslim-pengembara-dunia
[2] Ross E. Dunn. Petualangan Ibnu Battuta: Seorang Musafir Muslim Abad Ke-14. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), 12.
[4] Rosse E. Dunn. Petualangan Ibnu Battuta: Seorang M,usafir Muslim Abad ke-14. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995). 269-270
[5] Ibid, 272-273
[6] Rosse E. Dunn. Petualangan Ibnu Battuta: Seorang M,usafir Muslim Abad ke-14. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995). 416-417
[10] Ross E. Dunn. Petualangan Ibnu Battuta: Seorang Musafir Muslim Abad Ke-14. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995),62.
[14] Ross E. Dunn. Petualangan Ibnu Battuta: Seorang Musafir Muslim Abad Ke-14., 38-39.
[15] Ibid.,47.
[17] Ibid., 53-54.
[18] Ibid., 58.
[19] Ross E. Dunn. Petualangan Ibnu Battuta., 62.